BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Penyakit asma terbanyak terjadi pada anak dan berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Alergi dapat menyerang semua organ dan fungsi tubuh tanpa terkecuali. Sehingga penderita asma juga akan mengalami gangguan pada organ tubuh lainnya. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1996, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema, dan asma merupakan penyebab kematian ketujuh di Indonesia. Berdasarkan SO2RS tahun 1999, penyakit-penyakit tersebut menempati urutan pertama penyebab kematian. Asma yang tidak ditangani dengan baik dapat mengganggu kualitas hidup anak berupa hambatan aktivitas 30%, dibanding 5% pada anak non-asma.
Banyak kasus asma pada anak tidak terdiagnosis dini, karena yang menonjol adalah gejala batuknya, bisa dengan atau tanpa wheezing (mengi). Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Asma lebih banyak diderita anak laki-laki. Pada usia dewasa lebih banyak pada perempuan. Resiko dan tanda alergi atau asma dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam kandunganpun mungkin sudah dapat terdeteksi. Alergi dan asma dapat dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan tumbuh dan kembang anak secara optimal. Perbedaan prevalensi asma pada anak di kota biasanya lebih tinggi dibanding di desa. Terlebih pada golongan sosioekonomi rendah dibanding sosioekonomi tinggi. Pola hidup di kota besar meningkatkan risiko terjadinya asma baik prevalensi, morbiditas (perawatan dan kunjungan ke instalasi gawat darurat), maupun mortalitasnya. Lingkungan dalam rumah golongan sosioekonomi rendah mendukung pencetusan asma.
Asma adalah penyakit yang mempunyai banyak faktor penyebab. Yang paling sering karena factor atopi atau alergi. Penyakit ini sangat berkaitan dengan penyakit keturunan. Bila salah satu atau kedua orang tua, kakek atau nenek anak menderita asma bisa diturunkan ke anak. Faktor-faktor penyebab dan pemicu asma antara lain debu rumah dengan tungaunya, bulu binatang, asap rokok, asap obat nyamuk, dan lain-lain. Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, buah-buahan, kacang juga dianggap berpernanan penyebab asma. Polusi lingkungan berupa peningkatan penetrasi ozon, sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksid (NOX), partikel buangan diesel, partikel asal polusi (PM10) dihasilkan oleh industri dan kendaraan bermotor. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misalnya tartazine), pengawet (metabisulfit), dan vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa memicu asma. Kondisi lain yang dapat memicu timbulnya asma adalah aktifitas, penyakit infeksi, emosi atau stres.
B.Rumusan Masalah
1.Untuk mengetahui Definisi dari Emfisema
2.Untuk Mengetahui Faktor, penyebab, etiologi dan Parofisiologi dari Emfisema
3.Untuk Mengetahui Asuhan keperawatan dari Emfisema
C.Tujuan
1.Mengetahui Definisi dari Emfisema
2.Mengetahui Faktor penyebab, etiologi, klasifikasi dan Parofisiologi dari Emfisema
3.Mengetahui Asuhan keperawatan dari Emfisema
BAB II
ISI
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society,1962).
Emfisema adalah eksudat pleura supuratip. Keterlibatan rongga pleural adalah melalui :
1.Penyebaran langsung dari focus pneumonik.
2.Penyebaran limfatik.
3.Kontaminasi karena pembedahan atau trauma.
4.Penyabaran dari bagian bawah diafragma.
5.Infeksi hematogen, atau
6.Viskus torakalis yang ruptus.
Organisme penyebab, antara lain pnemokok,Streptokok, Stafilokok, Bakterrroides, tuberkel basili, E Colli, Prot vulgaris, dan jamur. Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu:
a. CLE (emfisema sentrilobular)
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok. (Sylvia A. Price 1995).
b. PLE (emfisema panlobular)
Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan cherniack, 1983).
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
A.PENYEBAB
1. Factor genetik
Factor genetic mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetic diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. Hipotesis elastase-anti elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3.Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5. Polusi
Sebagai factor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi..
6.Faktor social ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan social ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan factor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
B.PATOFISIOLOGI
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.
C.MANIFESTASI KLINIS
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55
tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik
- Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
- Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
- TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema
Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma
- FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma
- GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
- Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis
- JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)
- Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer
- Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
- EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema)
- EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
D. KOMPLIKASI
Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
Daya tahan tubuh kurang sempurna
Tingkat kerusakan paru semakin parah
Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
Pneumonia, Atelaktasis, Pneumothoraks
Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien
E. PENATALAKSANAAN
Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas :
1. Penyuluhan
Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2. Pencegahan
- Rokok
Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan
- Mengjindari lingkungan polusi
Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas
- Vaksin
Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.
3. Terapi farmakologi
Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan :
1. Pemberian bronkodilator
a. golongan teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L
b. golongan agonis B2
Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
2. Pemberian kortikosteroid
Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan
3. Mengurangi sekresi mucus
Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat.
Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida.
Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum.
Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
4. Fisioterapi dan rehabilitasi
Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional.
Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.
Memperbaiki efisiensi ventilasi.
Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
5. Pemberian O2 dalam jangka panjang
Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.
F.ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pemeriksaan fisik :
a)Inspeksi: Paru hiperinflasi, ekspansi dada berkurang, kesukaran inspirasi, dada berbentuk barrel chest, dada anterior menonjol, punggung berbentuk kifosis dorsal.
b)Palpasi : Ruang antar iga melebar, taktik vocal fremitus menurun,
c)Perkusi :Terdengar hipersonor, peningkatan diameter dada anterior posterior.
d)Auskultasi : Suara napas berkurang, ronkhi bisa terdengar apabila ada dahak
2. Pengkajian:
a)Kaji status pernapasan.
b)Kaji adanya sianosis.
c)Kaji fremitus faktil kedua paru.
d)Lakukan pemeriksaan tanda vital lengkap.
e)Kaji adanya nyeri tekan bila napas.
f)Lakukan pemeriksaan jantung dan paru, cari kemungkinan adanya payah jantung dan komplikasi COPD lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar