Senin, 22 Maret 2010

Huff.........

ketika aq ingin dan sangat ingin melupakanya.... tapi kenapa dy slalu hadir dalam pikiran qu......

entah apa yg harus Qu perbuat untuk melupakanya......

benci...... marah..... apalagi yg bisa untuk marah dengan nya dan melupakanya.....

apa......!!!! apa!!!!!!

ukh...... capek aq.... harus seperti ini......

bosan..... tolong bantu aq....... tolong........

yach..... mungkin aq harus fokus.... fokus..... dan fokus....... dan lupakan..... lupakan semuanya......

huff....... :(

PRAKTEK KEPERAWATAN ANAK CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Macam cairan infus

  1. Cairan hipotonik

Adalah cairan infuse yang osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

  1. Cairan Isotonik.

Adalah cairan infuse yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

3. Cairan hipertonik

Adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya :

  1. Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.

  2. Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.

Cairan yang digunakan dalam terapi Cairan yang sering digunakan ialah cairan elektrolit (kristaloid) cairan non-elektrolit, dan cairan koloid. Cairan elektrolit (kristaloid) :

Sesuai dengan penggunaannya dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu untuk pemeliharaan, pengganti dan tujuan khusus. Cairan pemeliharaan (rumatan) :

Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan umur, yaitu:

Dewasa : 1,5 – 2 ml/kg/jam

Anak-anak : 2 – 4 ml/kg/jam

Bayi : 4 – 6 ml/kg/jam

Orok (neonatus) : 3 ml/kg/jam

Mengingat cairan yang hilang dengan cara ini sedikit sekali mengandung elektrolit, maka sebagai cairan pengganti adalah hipotonik, dengan perhatian khusus untuk natrium.
Cairan kristaloid untuk pemeliharaan misalnya dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45% (D5NaCl 0,45). Sediaan Cairan Pemeliharaan (rumatan) Cairan pengganti : Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh sekuestrasi atau proses patologi yang lain (misalnya fistula, efusi pleura, asites drainase lambung dsb). Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan isotonis, dengan perhatian khusus untuk konsentrasi natrium, misalnya dekstrose 5 % dalam ringer laktat (D5RL), NaCl 0,9 %, D5 NaCl. Sediaan Cairan Pengganti Cairan untuk tujuan khusus (koreksi): Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium bikarbonat 7,5 %, NaCl 3 %, dll. Sediaan Cairan Koreksi Cairan non elektrolit : Contoh dekstrose 5 %, 10 %, digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dan kalori, dapat juga digunakan sebagai cairan pemeliharaan. Cairan koloid : Disebut juga sebagai plasma ekspander, karena memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan volume intra-vaskuler. Contoh cairan ini antara lain : Dekstran, Haemacel, Albumin, Plasma, Darah. Cairan koloid ini digunakan untuk menggantikan kehilangan cairan intra-vaskuler.

  • Laporan Hasil:

  1. Macam cairan pada tubuh dibagi menjadi dua yaitu cairan intraselular dan cairan ekstraselular.

  2. Cairan ekstraselular dibagi lagi menjadi dua yaitu cairan intravascular dan cairan interstitial.

  3. Berdasarkan komposis yang terkandung didalmnya, terdapat beberapa jenis cairan yaitu cairan kristaloid, koloid dan cairan parenteral nutrisi, dimana:

  • Cairan kristaloid: merupakan cairan yang mempunyai komposis isotonis/hipotonis dengan osmolaritas <>

  • Cairan koloid: merupakan cairan yang mempunyai viskositas tinggi/hypertonis, nilai osmolaritas > 500 dan berkomposis menyerupai plasma serta pemberiannya dianjurkan melalui vena central; misalnya plasma darah, hemacel, aminovel, dll.

  • Cairan parenteral nutrisi: merupakan cairan yang viskositasnya tinggi, nilai osmolaritas > 500, komposisi yang lebih dominan adalah karbohidrat, protein, dan lemak; misalnya triofusin 1000, aminofusin L 1600, dll.

  1. Cairan yang digunakan di dalam RS yaitu ada dua macam yang diantaranya cairan diare dan cairan non diare, ini merupakan macam cairan yang digunakan berdasar dengan masalah yang dialami oleh klien.

  2. Macam infuse yang digunakan dalam Rumah Sakit ada 4 macam yaitu:

  • Blood set, digunakan pada klien yang membutuhkan transfusi darah dan tetesannya 15 tetes. Pada jenis ini pada reservoirnya terdapat filter yang berguna untuk menyaring darah, meskipun oleh PMI sudah diberi anti koagulan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya pembekuan darah yang digunakan untuk transfuse.

  • Mikrodriip set, digunakan pada klien dengan usia kurang dari 6 bulan dan berat badan kurang dari 6 kg namun hal ini disesuaikan dengan kondisi dari klien. Meskipun klien berusia lebih dari 6 bulan, namun berat badan kurang dari 6 kg, maka dapat diberikan jenis infuse ini. Pemberian cairan melalui infuse ini diberikan dengan 60 tetes permenit.

  • Standard infuse set, digunakan pada klien dengan usia lebih dari 6 bulan dan berat badan lebih dari 6 kg. Namun pada kondisi tertentu dari klien dapat juga diberikan cairan melalui standard infuse set ini, misalnya pasien memiliki berat badan yang sesuai namun umurnya kurang dari 6 bulan ataupun dalam kondisi dari klien yang mengalami penyakit yang membutuhkan suplai (asupan) cairan yang banyak. Pemberian cairan melalui infuse ini diberikan dengan 20 tetes permenit.

  • Biuret, jenis infuse ini biasanya digunakan dalam ruang ICU serta pada keadaan tertenru yang membutuhkan ketepatan waktu serta kuantitas cairan yang dibutuhkan dalam skala waktu tertentu. Alat infuse ini dilengkapi dengan tabung reservoir yang menampung cairan dari tabung infuse sehingga ketepatan waktu yang dibutuhkan dalam menggunakan jenis infuse ini terpenuhi. Namun pada saat ini alat infuse dengan jenis biuret jarang digunakan.

  1. Alat infuse jenis mikrodriip dan standard ini memiliki perbedaan, dimana pada jenis alat infuse mikrodriipini di dalam reservoirnya terdapat jarum, dimana jarum ini membuat pengeluaran cairan lebih sedikit.

  2. Macam cairan cairan yang diberikan pada anak:

  1. Cairan I

Cairan dengan komposisi masih murni, diberikan pada klien dengan dehidrasi berat, syok, nutrisi, dan sebagai pendamping tranfusi.

  • S Ringer laktat

  • Nacl 0,9%

  • Dextrose 5%, Dex 10%

  • Cairan elektrolit

  1. Cairan II

Cairan yang komposisinya bervariasi dengan elektrolit, sebagian besar adalah cairan untuk pemeliharaan (maintenance).

  • Cairan 1:1 (dextrose 5% : Nacl 0,9%) diberikan pada usia > 5 tahun, dengan indikasi non diare. Cairan ini penggunaannya dalam RS

  • Cairan 1:2 (dextrose 5% : Nacl 0,45%) diberikan pada usia 3-5 tahun, dengan indikasi non diare.

  • Cairan 1:4 (dextrose 5% : Nacl 0,225%) diberikan pada usia 1 bulan-3 tahun, dengan indikasi non diare.

  • Cairan 1:5 (dextrose 10% : Nacl 0,18%) diberikan pada usia 3 hari s/d 3 bulan, dengan indikasi non diare.

  • HSD (dextrose 5% : Nacl 0,45%+ Kcl + Nabic) diberikan pada usia 3 bulan, dengan indikasi diare DS.

  1. Cairan III

Cairan yang komposisinya menyerupai cairan II ditambahkan beberapa elemen elektrolit, digunakan pada pasien diare dengan usia <>

  • Cairan 1:5+ na bic 7,5 cc + Kcl 5 cc

Tujuan

Dalam praktikum cairan ini, mahasiswa keperawatan diharapkan dapatmemahami dan mengetahui macam-macam cairan tubuh, selain itu dapat membedakan jenis cairan beserta komposisi dan osmolaritasnya.

Praktikum yang dilaksanakan bertujuan agar mahasiswa keperawatan dapat mengetahui cara perhitungan kebutuhan cairan pada anak, maupun memahami macam selang infus beserta kegunaannya .

Contoh cairan

Kristaloid :

  1. Natrium klorida 0.9 %

    1. NaCl : 4,5 g

    2. Na : 154 mEq/l

    3. Cl : 154 mEq/l

    4. Air untuk injeksi : 500 ml

    5. Osmolaritas : 308 mOsm/l


  1. Glukosa 5%

    1. Glukosa : 25 g

    2. Air untuk injeksi : 500 ml

    3. Osmolaritas : 280 mOsm/l

    4. Setara dengan : 800 kJ/l (190 Kkal/l)

  2. RL ( Ringer Laktat)

    1. Nat Laktat C3H5NaO3 : 1,55 g

    2. Klorida NaCl : 3 g

    3. KCl : 0,15 g

    4. Kalsium klorida CaCl22H20 : 0,1 g

    5. Air untuk injeksi : 500 ml

    6. Osmolaritas : 274 mOsm/l

    7. Na+ : 180 ml

    8. K­­­­­­­­­­+ : 4 ml

    9. Laktat : 27,5 ml

  3. Otsu-D40

    1. 40 % Dektrose MonoHydrate

    2. Osmolaritas 2,018 mOsm/ml

  4. Glucose 10 %

    1. Steril : 500 ml

    2. Glucose : 50 g

    3. Air untuk injeksi : 500 ml

    4. Osmolaritas : 560 mOsm/l

    5. Setara dengan : 1600 kJ/l (380 Kkal/l)

    6. Suhu : 25ºC - 30ºC

TPN

  1. Amifaren

    1. Amino Acid : 10 %

Cairan 1

  1. Otsu Salin 3

    1. Sodium Klorida : 3%

    2. Intravenous Infussion

    3. Air untuk injeksi : qs

    4. Sodium : 513 mM/l

    5. Kloride : 513 mM/l

Cairan 1:1 (untuk diare)

  1. Otsu – D5 NS

    1. 5 % Dektrose : 50 g

    2. 0.9 % Sodium : 50 g

    3. Sodium kloride : 90 g

    4. Sodium : 154 mEq/l

    5. Klorida : 154 mEq/l

    6. Osmolaritas : 560 mOsm/l

Cairan 1:2 (non diare)

  1. Infusan D5 + ½ NS

    1. Glucose : 25 g

    2. Sodium Klorida : 2,25 g

    3. Air untuk injeksi : 500 ml

    4. Sodium : 77 mEq/l

    5. Klorida : 77 mEq/l

    6. Osmolaritas : 432 mEq/l

    7. Suhu : 30ºC

  2. Otsu – D5, ½ NS

    1. Dextrose : 5 %

    2. Sodium : 0,45 %

    3. Klorida injeksi

    4. Dextrone mono : 50 g

    5. Sodium : 4,5 g dan 77 mEq/l

    6. Klorida : 77 mEq/l

    7. Osmolaritas : 406 mOsm/l

HSD ( cairan diare)

  1. KA – EN 3B ( Dextrose, Sodium Klorida, Pottasium klorida dan sodium laktat )

    1. Anhydrous Dextrose : 27.00 g

    2. Sodium Klorida : 1,75 g

    3. Potassium Klorida : 1,5 g

    4. Sodium Laktat : 2,24 g

    5. Sodium : 50 mEq/l

    6. Laktat : 20 mEq/l

    7. Potasiium : 20 mEq/l

    8. Klorida : 50 mEq/l

    9. Osmolaritas : 290 mEq/l

Natrium Bikarbonat (meylon 84)

  1. Sodium Bikarbonat : 84 mg/ml

    1. Sodium : 1 mM/ml

    2. Bikarbonat : 1 mM/ml

    3. Osmolaritas : 2 mOsm/ml

  2. Otsu – KCl 7,46

    1. Potassium Klorida Injektion : 7,46 %

    2. Each ml contains : kCl 74,5 mg

    3. K+ : 1 mEq

    4. Cl- : 1 mEq

    5. Osmolaritas : 2 mOsm/ml

Cairan 1:4

  1. Infusan D5 + ¼ NS

    1. Glukose Anhydrate : 25 g

    2. Sodium Klorida : 1125 g

    3. Air untuk injeksi : 500 ml

    4. Sodium : 38,5 mEq/l

    5. Klorida : 38,5 mEq/l

    6. Osmolaritas : 355 mOsm/l

  2. Otsu – mgSO4 20

    1. Magnesium Sulfate : 20 %

    2. Each 25 ml contains ( MgSO4, 7H2O : 10 g

    3. Osmolaritas : 3,2 mOsm/ml

    4. Suhu : 25ºC - 30ºC

Soal :

Bb : 23 kg

Obs febris s : 39, 5 C

Muntah 3 kali a : 75 cc

Diare 4 kli a : 50 cc

Hit??

Jawab :

  1. Bb 23 kg

10 kg x 100 = 1000

10 kg x 50 = 500

3 kg x 20 = 1560

  1. Febris 39, 5 ºC

Naik 2,5 ºC x 10 ºC = 225

  1. Diare 4 kli x 50 = 200

  2. Urine : 1 x bb x 24 jam = 1 x 23 x 24 = 552

  3. IWL anak (50 – 100 cc) = 100

Jumlah : 25 + 225 + 200 + 552 + 100 = 2662

Oral 2/3 x 2662 = 1774, 6 cc

Pariteral 1/3 x 266 = 887, 3 cc

Standart :

  1. Perparental

20 tetes x 887, 3

24 jam x 60 mnit

= 1774, 6

1440

= 12, 3 tetes/ mnt

  1. Peroral

20 tetes x 1774, 6

24 jam x 60 menit

= 35480

1440

= 24, 6 tetes/ menit

Jadi cairan yang digunakan dari hasil perhitungan adalah HSD (Half Stregth Diare) yaitu dextro + elektrolit karena klien mengalami dehidrasi sedang.

EMFISEMA

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Penyakit asma terbanyak terjadi pada anak dan berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Alergi dapat menyerang semua organ dan fungsi tubuh tanpa terkecuali. Sehingga penderita asma juga akan mengalami gangguan pada organ tubuh lainnya. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1996, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema, dan asma merupakan penyebab kematian ketujuh di Indonesia. Berdasarkan SO2RS tahun 1999, penyakit-penyakit tersebut menempati urutan pertama penyebab kematian. Asma yang tidak ditangani dengan baik dapat mengganggu kualitas hidup anak berupa hambatan aktivitas 30%, dibanding 5% pada anak non-asma.
Banyak kasus asma pada anak tidak terdiagnosis dini, karena yang menonjol adalah gejala batuknya, bisa dengan atau tanpa wheezing (mengi). Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Asma lebih banyak diderita anak laki-laki. Pada usia dewasa lebih banyak pada perempuan. Resiko dan tanda alergi atau asma dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam kandunganpun mungkin sudah dapat terdeteksi. Alergi dan asma dapat dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan tumbuh dan kembang anak secara optimal. Perbedaan prevalensi asma pada anak di kota biasanya lebih tinggi dibanding di desa. Terlebih pada golongan sosioekonomi rendah dibanding sosioekonomi tinggi. Pola hidup di kota besar meningkatkan risiko terjadinya asma baik prevalensi, morbiditas (perawatan dan kunjungan ke instalasi gawat darurat), maupun mortalitasnya. Lingkungan dalam rumah golongan sosioekonomi rendah mendukung pencetusan asma.
Asma adalah penyakit yang mempunyai banyak faktor penyebab. Yang paling sering karena factor atopi atau alergi. Penyakit ini sangat berkaitan dengan penyakit keturunan. Bila salah satu atau kedua orang tua, kakek atau nenek anak menderita asma bisa diturunkan ke anak. Faktor-faktor penyebab dan pemicu asma antara lain debu rumah dengan tungaunya, bulu binatang, asap rokok, asap obat nyamuk, dan lain-lain. Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, buah-buahan, kacang juga dianggap berpernanan penyebab asma. Polusi lingkungan berupa peningkatan penetrasi ozon, sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksid (NOX), partikel buangan diesel, partikel asal polusi (PM10) dihasilkan oleh industri dan kendaraan bermotor. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misalnya tartazine), pengawet (metabisulfit), dan vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa memicu asma. Kondisi lain yang dapat memicu timbulnya asma adalah aktifitas, penyakit infeksi, emosi atau stres.

B.Rumusan Masalah
1.Untuk mengetahui Definisi dari Emfisema
2.Untuk Mengetahui Faktor, penyebab, etiologi dan Parofisiologi dari Emfisema
3.Untuk Mengetahui Asuhan keperawatan dari Emfisema

C.Tujuan
1.Mengetahui Definisi dari Emfisema
2.Mengetahui Faktor penyebab, etiologi, klasifikasi dan Parofisiologi dari Emfisema
3.Mengetahui Asuhan keperawatan dari Emfisema

BAB II
ISI

Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society,1962).
Emfisema adalah eksudat pleura supuratip. Keterlibatan rongga pleural adalah melalui :
1.Penyebaran langsung dari focus pneumonik.
2.Penyebaran limfatik.
3.Kontaminasi karena pembedahan atau trauma.
4.Penyabaran dari bagian bawah diafragma.
5.Infeksi hematogen, atau
6.Viskus torakalis yang ruptus.
Organisme penyebab, antara lain pnemokok,Streptokok, Stafilokok, Bakterrroides, tuberkel basili, E Colli, Prot vulgaris, dan jamur. Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu:

a. CLE (emfisema sentrilobular)
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok. (Sylvia A. Price 1995).
b. PLE (emfisema panlobular)
Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan cherniack, 1983).
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.


A.PENYEBAB
1. Factor genetik
Factor genetic mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetic diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. Hipotesis elastase-anti elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3.Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.

4. Infeksi
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5. Polusi
Sebagai factor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi..
6.Faktor social ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan social ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan factor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.



B.PATOFISIOLOGI
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.

C.MANIFESTASI KLINIS
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55
tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik
- Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
- Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
- TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema
Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma
- FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma
- GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
- Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis
- JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)
- Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer
- Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
- EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema)
- EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.

D. KOMPLIKASI
Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
Daya tahan tubuh kurang sempurna
Tingkat kerusakan paru semakin parah
Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
Pneumonia, Atelaktasis, Pneumothoraks
Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien


E. PENATALAKSANAAN
Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas :
1. Penyuluhan
Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2. Pencegahan
- Rokok
Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan
- Mengjindari lingkungan polusi
Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas
- Vaksin
Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.

3. Terapi farmakologi
Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan :
1. Pemberian bronkodilator
a. golongan teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L
b. golongan agonis B2
Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.

2. Pemberian kortikosteroid
Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan

3. Mengurangi sekresi mucus
Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat.
Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida.
Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum.
Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.

4. Fisioterapi dan rehabilitasi
Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional.
Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.
Memperbaiki efisiensi ventilasi.
Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis

5. Pemberian O2 dalam jangka panjang
Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

F.ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pemeriksaan fisik :
a)Inspeksi: Paru hiperinflasi, ekspansi dada berkurang, kesukaran inspirasi, dada berbentuk barrel chest, dada anterior menonjol, punggung berbentuk kifosis dorsal.
b)Palpasi : Ruang antar iga melebar, taktik vocal fremitus menurun,
c)Perkusi :Terdengar hipersonor, peningkatan diameter dada anterior posterior.
d)Auskultasi : Suara napas berkurang, ronkhi bisa terdengar apabila ada dahak
2. Pengkajian:
a)Kaji status pernapasan.
b)Kaji adanya sianosis.
c)Kaji fremitus faktil kedua paru.
d)Lakukan pemeriksaan tanda vital lengkap.
e)Kaji adanya nyeri tekan bila napas.
f)Lakukan pemeriksaan jantung dan paru, cari kemungkinan adanya payah jantung dan komplikasi COPD lainnya.

AIRWAY, BREATHING AND CIRCULATION MANAGEMENT

  1. ANATOMI SISTEM PERNAPASAN

Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru. Saluran pernapasan terbagi atas beberapa bagian yaitu :

  1. Saluran Nafas Bagian Atas

  1. Rongga hidung

Merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi ( terdiri dari : Psedostrafied ciliated columnar epitelium yang berfungsi menggerakkan partikel partikel halus kearah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara). Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan ke

  1. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius)

  2. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah).

  3. Laringofaring(terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)

Normalnya, manusia akan berusaha bernapas melalui hidung, dan pada keadaan tertentu akan bernapas melalui mulut. Udara yang masuk akan mengalami proses penghangatan dan pelembapan. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan terjatuh kebelakang rongga mulut. hal ini dapat menyebabkan gangguan pada airway. Lidah pada bayi lebih besar secara relatif sehingga lebih mudah menyumbat airway.

  1. Saluran Nafas Bagian Bawah

  1. Laring : Terdiri dari Tulang rawan krikoid, Selaput/pita suara, Epilotis, Glotis.

  2. Trakhea : Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin tulang rawan seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelastic menempel pada dinding depan usofagus. Pada bayi, trakea berukuran lebih kecil, sehingga tindakan mendongakan kepala secara berlebihan (hiperekstensi) akan menyebabkan sumbatan pada airway.

  3. Bronkhi : Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini disebut carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea. Bronchus kanan bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior. Brochus kiri terdiri dari : lobus superior dan inferior

  4. Epiglotis : Trakea dilindungi oleh sebuah flap berbentuk daun yang berukuran kecil yang dinamakan epiglotis. Normalnya, epiglotis menutup laring pada saat makanan atau minuman masuk melalui mulut, sehingga akan diteruskan ke esofagus. Tetapi, pada keadaan tertentu seperti trauma atau penyakit, refleks ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dapat terjadi masuknya benda padat atau cair ke laring yang dapat mengakibatkan tersedak.

  1. Alveoli

Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial.

Membran alveolar :

  • Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli

  • Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan surfactant.

  • Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang saling berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah dalam rongga endotel

  • Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum.

Aliran pertukaran gas : Proses pertukaran gas berlangsung sebagai berikut: alveoli epitel alveoli « membran dasar « endotel kapiler « plasma « eitrosit.

Membran « sitoplasma eritrosit « molekul hemoglobin.

Surfactant : Mengatur hubungan antara cairan dan gas. Dalam keadaan normal surfactant ini akan menurunkan tekanan permukaan pada waktu ekspirasi, sehingga kolaps alveoli dapat dihindari.

  1. Sirkulasi Paru

Mengatur aliran darah vena – vena dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis dan mengalirkan darah yang bersifat arterial melaului vena pulmonalis kembali ke ventrikel kiri.

  1. Bronkus dan paru

Merupakan jalinan atau susunan bronhus bronkhiolus, bronkhiolus terminalis, bronkhiolus respiratoty, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, sistem limfatik .Pada alveolus akan terjadi pertukaran oksigen dengan karbondioksida.



  1. Rongga dan Dinding Dada

Rongga ini terbentuk oleh:

  • Otot –otot interkostalis

  • Otot – otot pektoralis mayor dan minor

  • Otot – otot trapezius

  • Otot –otot seratus anterior/posterior

  • Kosta- kosta dan kolumna vertebralis

  • Kedua hemi diafragma

Yang secara aktif mengatur mekanik respirasi.


  1. JALAN NAPAS (AIRWAY)

Ariway merupakan Komponen yang penting dari sistem pernapasan adalah hidung dan mulut, faring, epiglotis, trakea, laring, bronkus dan paru. Sehingga Penilaian jalan napas (Airway) pada korban yang pertamakali adalah

  1. Mendengarkan apakah ada suara nafas tambahan?

  2. Apakah jalan nafas terbuka

  3. Lindungi C-spin

Tanda – tanda sumbatan pada jalan nafas yaitu:

  1. Bagian atas

  • Snoring : suara seperti orang ngorok dimana pangkal lidah yang jatuh ke Belakang.

  • Gurgling : seperti orang berkumur dimana dikarenakan adanya cairan atau darah.

  • Stridor : terjadi karena uap panas atau gas yang mengakibatkan mukosa bengkak ataupun jalan nafanya menjadi jasar.

  1. Bagian bawah

  • Rales

  • Wheezing : seperto suara biola dimana mengalami penyempitan di bronkusnya.

  • Stridor

Penetalaksanaannya adalah :

  1. Membuka jalan napas

Lidah merupakan penyebab utama tertutupnya jalan napas pada korban tidak sadar. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan kehilangan kekuatan ototnya sehingga akan terjatuh kebelakang rongga mulut. Hal ini mengakibatkan tertutupnya trakea sebagai jalan napas. Pada kasus-kasus tertentu, korban membutuhkan bantuan pernapasan. Sebelum diberikan bantuan pernapasan, jalan napas korban harus terbuka. Ada dua manuver yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas, yaitu head tilt / Chin lift dan jaw trust.

  1. Head tilt / Chin lift

Tehnik ini hanya dapat digunakan pada korban tanpa cedera kepala, leher, dan tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah :

  • Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling dekat dengan dahi korban).

  • Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi kearah belakang.

  • Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang dari dagu korban. Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan dibawah dagu.

  • Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan samapi mulut korban tertutup. Jika korban anak-anak, jangan terlalu menengadahkan kepala.

  • Pertahankan posisi ini.

  1. Jaw trust

Tehnik ini dapat digunakan selain tehnik diatas. Walaupun tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk korban dengan cedera tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah :

  • Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua sisi kepala korban. Letakkan tangan di kedua sisi kepala korban.

  • Cengkeram rahang bawah korban pada kedua sisinya.jika korban anak-anak, gunakan dua atau tiga jari dan letakkan pada sudut rahang.

  • Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah korban keatas. Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan.

  • Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik bibir bagian bawah dengan kedua ibu jari.

  1. Penilaian jalan napas

Patensi (tetap mepertahankan) jalan napas sangat diperlukan untuk pernapasan yang adekuat. Jika korban sadar dan dapat berbicara dengan baik, maka dapat disimpulkan bahwa jalan napasnya paten (tidak ada sumbatan). Jika korban mengalami penurunan kesadaran, maka perlu diperhatikan lebih lanjut mengenai patensi jalan napasnya. Biasanya korban dengan penurunan kesadaran terdapat darah, muntahan, atau air liur yang berlebihan pada jalan napasnya.
Apabila jalan nafas sudah baik dan yakin tidak ada sumbatan maka diteruskan ke prosedur selanjutnya yaitu breathing (pernapasan).


  1. PERNAPASAN (BREATHING)

Bernapas adalah usaha seseorang secara tidak sadar/otomatis untuk melakukan pernafasan. Tindakan ini merupakan salah satu dari prosedur resusitasi jantung paru (RJP). Untuk menilai seseorang bernafas secara normal dapat dilihat dari berapa kali seseorang bernapas dalam satu menit, secara umum;

  • Frekuensi/jumlah pernapasan 12-20x/menit (dewasa), anak (20-30x/menit), bayi (30-40x/menit).

  • Dada sampai mengembang

Pernapasan dikatakan tidak baik atua tidak normal jika terdapat keadaan berikut ini:

  1. Ada tanda-tanda sesak napas : peningkatan frekuensi napas dalam satu menit

  2. Ada napas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas)

  3. Ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut)

  4. Warna kebiruan pada sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan

  5. Tidak ada gerakan dada

  6. Tidak ada suara napas

  7. Tidak dirasakan hembusan napas

  8. Pasien tidak sadar dan tidak bernapas

Tindakan-tindakan ini dapat dilakukan bila pernapasan seseorang terganggu:

  1. Cek pernapasan dengan melihat dada pasien dan mendekatkan pipi dan telinga ke hidung dan mulut korban dengan mata memandang ke arah dada korban (max 10 detik)

  2. Bila korban masih bernapas namun tidak sadar maka posisikan korban ke posisi mantap (posisikan tubuh korban miring ke arah kiri) dan pastikan jalan napas tetap terbuka; segera minta bantuan dan pastikan secara berkala (tiap 2 menit) di cek pernapasannya apakah korban masih bernapas atau tidak.


Jika korban bernapas tidak efektif (bernapas satu-satu, ngap-ngap, atau tidak bernapas) :

  1. Aktifkan sistem gawat darurat (bila ada orang lain minta orang lain untuk mencari atau menghubungi gawat darurat)

  2. Buka jalan napas dengan menengadahkan kepala korban dan menopang dagu korban (head tilt dan chin lift)

  3. Pastikan tidak ada sumbatan dalam mulut korban; bila ada sumbatan dapat dibersihkan dengan sapuan jari-balut dua jari anda dengan kain dan usap dari sudut bibir sapu ke dalam dan ke arah luar

  4. Berikan napas buatan dengan menarik napas biasa lalu tempelkan bibir anda ke bibir korban dengan perantaraan alat pelindung diri (face mask, face shield) lalu hembuskan perlahan >1 detik sambil jari tangan anda menutup hidung korban dan mata anda melihat ke arah dada korban untuk menilai pernapasan buatan yang anda berikan efektif atau tidak (dengan naiknya dada korban maka pernapasan buatan dikatakan efektif)

  5. Berikan nafas buatan 2x lalu periksa denyut nadi korban (menggunakan jari telunjuk dan jari tengah raba bagian tengah jakun, lalu geser ke arah samping hingga teraba lekukan di pinggir jakun tersebut) didaerah leher seperti pada gambar; bila tidak ada denyut maka masuk ke langkah CPR

  6. Bila ada denyut nadi maka berikan napas buatan dengan frekuensi 12x/menit/1 tiap 5 detik sampai korban sadar dan bernapas kembali atau tenaga paramedis datang; dan selalu periksa denyut nadi korban apakah masih ada atau tidak setiap 2 menit.

  1. SIRKULASI

Sistem sirkulasi atau pompa darah pada tubuh manusia dilakukan oleh jantung. Jantung terdiri dari empat ruangan, yaitu atrium kanan, atrium kiri, bilik kanan dan bilik kiri. Jantung berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh.

Pada keadaan henti jantung dimana jantung berhenti berdenyut dan berhenti memompakan darah ke seluruh tubuh, maka organ-organ tubuh akan kekurangan oksigen. Organ yang paling rentan untuk terjadi kerusakan akibat kekurangan oksigen adalah otak. Hal ini disebabkan karena sel-sel otak mengkonsumsi energi yang berasal dari oksigen saja. Tanpa oksigen, proses hidup sel otak akan terganggu. Dalam waktu 4-6 menit tanpa oksigen, sel-sel otak akan mulai mengalami kerusakan. Setelah 8-10 menit sel otak akan rusak permanen.